Senin, 14 November 2011

Buka Jalan untuk Kaum Muda!


Oleh : jack salatin

Kekalahan PDI Perjuangan dalam pemilu di era reformasi yang disebabkan oleh “pemimpin-pemimpinnya yang lupa diri”, kebangkrutan ideologi-politik partai (meninggalkan garis massa), dan tereksposnya kebusukan wakil partai di parlemen – tiga kenyataan ini dalam kesatuannya telah mendegradasi perolehan suara PDI Perjuangan pada pemilu 2009 sebesar 14 juta suara atau kehilangan 20 juta suara dibanding pada masa gemilangnya tahun 1999 dengan memperoleh 35 juta suara pemilih. Luar biasa!!! Kenyataan ini tak dapat diperbaiki dalam periode yang singkat. Popularitas PDI Perjuangan sebagai partai pembela wong cilik lambat tapi pasti semakin tergeser. Dalam sejarah partai politik di Indonesia “pada masa damai” belum ada satupun partai politik yang mengalami kebangkrutan suara seperti yang dialami PDI Perjuangan. PKI dan PNI, organisasinya hancur berantakan karena para pemimpin, kader dan pengikutnya mengalami “genosida”  oleh rezim militer saat itu. Berbeda juga dengan Golkar yang berubah nama menjadi partai golkar yang juga menurun perolehan suara karena golkar yang representasi dari orde baru pernah menjadi musuh bersama pada masa bergolaknya reformasi.
Generasi yang lebih tua, karena sudah menderita kekalahan-kekalahan yang telak, akan meninggalkan gerakan dalam jumlah yang besar. Tentu saja, bahkan di antara para kader partai yang dulu pernah bangkit ke depan, tidak sedikit dari mereka yang letih dan patah-semangat. Mereka ini akan tetap menjadi penonton di pinggiran, setidaknya untuk periode selanjutnya. Ketika sebuah program atau sebuah organisasi terkikis habis, maka generasi yang memanggul program atau organisasi tersebut di pundaknya akan terkikis habis bersamanya juga.
Gerakan massa akan dibangkitkan kembali oleh kaum muda yang bebas dari tanggungjawab masa lalu. Sudah saatnya PDI Perjuangan memberikan perhatian yang khusus kepada generasi muda. Hanya rasa antusias yang baru dan jiwa agresif kaum muda yang dapat memastikan keberhasilan-keberhasilan awal dari perjuangan; dan hanya keberhasilan-keberhasilan inilah yang dapat mengembalikan elemen-elemen terbaik dari generasi yang lebih tua ke jalan kemenangan. Begitulah dulu, maka begitulah juga di masa yang akan datang.
Para skeptis bertanya: Tetapi, apakah waktunya sudah tiba untuk memunculkan kaum muda dikalangan partai? Mereka mengatakan: tidak mungkin kita bisa memilih kaum muda secara “artifisial”; ia hanya bisa lahir dari peristiwa-peristiwa besar, dsb, dsb. Semua keberatan ini hanya menunjukkan bahwa para skeptis ini tidak berguna sama sekali dalam membentuk sebuah organisasi partai yang modern yang berkembang pada jamannya. Mereka tidak berguna sama sekali dalam segala hal.
Pemimpin muda telah lahir dari peristiwa-peristiwa besar: yakni kekalahan-kekalahan terbesar kaum tua di dalam sejarah. Sebab dari kekalahan-kekalahan ini dapat ditemukan di degenerasi dan pengkhianatan kepemimpinan yang lama. Tetapi, apakah waktunya sudah tiba untuk memproklamasikan pemimpin muda? ... para skeptis ini tidak bisa diam. Kita jawab: pemimpin muda perlu “diproklamasikan” sekarang. Ia eksis dan ia berjuang. Apakah ia lemah? Ya, anggotanya tidak banyak karena ia masih muda. Mereka masih merupakan kader-kader muda. Tetapi kader-kader ini adalah janji masa depan. Siapa saja yang tidak bisa melihat ini sekarang, biarlah mereka berdiri di luar untuk saat ini. Esok hari, semuanya akan tampak lebih jelas.

Rabu, 09 November 2011

PDI Perjuangan menjelang Pemilu 2014


“PEMIMPIN BARU, CAPRES BARU”
(di resume oleh: jack salatin)
November 2011

Tahun 2014 nanti, Indonesia menyelenggarakan pemilu ke-4nya di era reformasi ini. Menghadapi pemilu 2014 di Indonesia, sebuah pergumulan yang intens muncul di dalam tubuh PDI Perjuangan mengenai strategi taktik apa yang harus diorganisir. Menelurusi garis sejarah pemilu di era reformasi tentunya tak dapat dilepaskan dari peristiwa pemilu pertama di Indonesia tahun 1955.  Pemilu “demokratis” yang pertama adalah pemilu 1955 di dalam sejarah Indonesia. Pemilu di era reformasi  pada tahun 1999, 2004 dan 2009 dianggap “demokratis” dalam arti mereka tidak diselenggarakan di bawah cengkraman kediktatoran rejim Soeharto.
Pemilu tahun 1955 dianggap sebagai pemilu yang paling demokratis di Indonesia, karena lebih dari 30 partai menjadi kontestan. Hasil pemilu menunjukkan empat partai besar adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang merupakan partainya Soekarno; Masyumi, sebuah partai Islam sayap kanan; Nahdatul Ulama (NU), sebuah partai Islam yang memiliki hubungan kuat dengan tuan-tuan tanah dan yang lalu terlibat membantu Soeharto membantai PKI pada tahun 1965-66; dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pemilu ini merefleksikan tiga kekuatan politik saat itu: Nasionalis, Islamis, dan Komunis.

Hasil Pemilu 1955
No
Partai
Suara
%
Kursi
1
Partai Nasional Indonesia (PNI)
8.434.653
22,32
57
2
Masyumi
7.903.886
20,92
57
3
Nahdatul Ulama (NU)
6.955.141
18,41
45
4
Partai Komunis Indonesia (PKI)
6.179.914
16,36
39
5
Lain-Lain
8.311.705
21,99
59

TOTAL
37.785.299
100
257
PKI kembali ke peta politik di dalam pemilu ini setelah sebelumnya dihancurkan secara fisik 7 tahun yang lalu di peristiwa Madiun 1948. Periode selanjutnya adalah sebuah periode yang penuh gejolak dan sangat sulit. Indonesia berantakan secara ekonomi dan politik. Di dalam periode ini, PKI bertambah kuat karena mereka mampu memobilisasi dan mengorganisasi buruh dan tani. Jumlah anggota PKI loncat dari 165.000 pada tahun 1954 menjadi 1,5 juta pada tahun 1959. Pada pertengahan 1964, PKI mengklaim memiliki anggota sebanyak 3 juta. Selain itu, PKI juga memiliki banyak organisasi afiliasi: Pemuda Rakyat dengan 3 juta anggota, SOBSI dengan 3,5 juta anggota, Barisan Tani Indonesia dengan 8,5 juta anggota, dan Gerwani dengan 1,75 juta anggota. Secara kasar, hampir 1 dari 5 orang di Indonesia mempunyai hubungan dengan PKI. Setelah Uni Soviet dan RRC, PKI adalah partai komunis terbesar ketiga di dunia.
Pemilu pertama di bawah rejim Orde Baru diselenggarakan pada tahun 1971. Selain partainya rejim Soeharto, Golkar, ada 9 partisipan lainnya. Tidaklah mengejutkan kalau pemerintahan yang baru ini mengintervensi secara besar di dalam urusan internal 9 partai ini, untuk memastikan kalau mereka cocok di dalam demokrasi Orde Baru. Majalah Time melaporkan pada tanggal 12 Juli 1971: “Pemerintah juga menyingkirkan 2500 kandidat yang tidak layak dan menangkap banyak lainnya.” Pemerintahan ini menghabiskan 55 juta dolar Amerika (setara dengan 261 juta dolar pada tahun 2009) untuk pemilu ini guna memastikan Golkar meraih mayoritas suara di parlemen dan lalu mampu memilih Soeharto sebagai presiden pada tahun 1973.


Hasil Pemilu 1971
No
Partai
Suara
%
Kursi
1
Golkar
34.348.673
62,80
236
2
Nahdatul Ulama
10.213.650
18,67
58
3
Partai Muslimin Indonesia
3.793.266
6,94
20
4
Partai Syarikat Islam Indonesia
2.930.746
5,36
24
5
Lainnya
3.413.174
6,23
22
TOTAL
54.699.509
100,00
360
Di lima pemilu selanjutnya, hanya tiga partai diperbolehkan berpartisipasi dan kehidupan partai diatur dalam UU 3/1975. Partai-partai Islam dipaksa fusi menjadi satu partai: Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai-partai lainnya secara sistematis dibubarkan dan dipaksa merger ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Untuk memastikan Golkar selalu meraih lebih dari 60% suara, beberapa taktik digunakan oleh rejim Soeharto. PDI dan PPP tidak diperbolehkan mengkritik kebijakan pemerintah. Slogan-slogan dan kandidat-kandidat mereka harus disetujui oleh pemerintah. Semua pegawai negeri harus menjadi anggota Golkar.
Semua hasil pemilu selalu sama: kemenangan telak oleh Golkar, sebuah dominasi elektoral yang tidak pernah terjadi di negara-negara lain, sedangkan kedua partai lainnya hanyalah ornamen untuk memberikan sebuah ilusi demokrasi.
Hasil Pemilu 1977-1997
Tahun
Golkar
PDI
PPP
Suara
%
Suara
%
Suara
%
1977
39.750.096
62,11
5.504.757
8,60
18.743.491
29,29
1982
48.334.724
64,34
5.919.702
7,88
20.871.880
27,78
1987
62.783.680
73,17
9.324.708
10,87
13.701.428
15,97
1992
66.599.331
68,10
14.565.556
14,89
16.624.647
17,00
1997
84.187.907
74,51
3.463.226
3,07
25.341.028
22,43

Hasil Pemilu di Era Reformasi
Di balik kemenangan elektoral Golkar yang menakjubkan dalam pesta pemilu selama rezim Orde Baru, terdapat sebuah ketidakpuasan di antara massa. 32-tahun dominasi Golkar hancur seketika oleh gerakan rakyat yang menurunkan Soeharto pada tahun 1998. Krisis ekonomi Asia tahun 1997 mengekspos keajaiban ekonomi Indonesia yang dibangun di atas pasir. Kenaikan harga BBM dan barang-barang yang masif memercikkan gerakan massa dan mahasiswa Indonesia yang berani memimpin gerakan ini dengan mengorganisir demonstrasi-demonstrasi setiap hari. Hanya ketika massa yang luas bergabung, gerakan ini meraih dorongan politik yang mampu menumbangkan pemerintahan Soeharto. Dia digantikan oleh wakil presiden Habibie yang tidak memiliki legitimasi sama sekali. Seluruh hasil pemilu 1997 ditolak oleh massa. Guna mendapatkan legitimasi dan mengalihkan perjuangan massa, kelas penguasa terpaksa mengadakan pemilu pada tahun 1999 dimana larangan membentuk partai dihapus. 48 partai berpartisipasi di pemilu 1999. Ini benar-benar sebuah karnival elektoral bagi rakyat.

Hasil Pemilu 1999
No
Partai
Suara
%
Kursi
1
PDI-P
35.689.073
33,7
154
2
Golkar
23.741.749
22,4
120
3
PPP
11.329.905
10,7
59
4
PKB
13.336.982
12,6
51
5
PAN
7.528.956
7,1
35
6
Lain-lain
14.159.996
13,5
43
TOTAL
105.786.661
100
462
ABSTENSI
10,2%

Hasil Pemilu 2004
No
Partai
Suara
%
Kursi
1
Golkar
24.480.757
21,58
128
2
PDI-P
21.026.629
18,53
109
3
PKB
11.989.564
10,57
52
4
PPP
9.248.764
8,15
58
5
PD
8.455.225
7,45
57
6
PKS
8.325.020
7,34
45
7
PAN
7.303.324
6,44
52
8
Lain-lain
22.659.115
19,94
49
TOTAL
113.488.398
100
550
ABSTENSI
22,9%*

Hasil Pemilu 2009
No
Partai
Suara
%

1
PD
21,703.14
20,8

2
Golkar
15.037.757
14,4

3
PDI-P
14.600.091
14,0

4
PKS
8.206.955
7,9

5
PAN
6.254.580
6,0

6
PPP
5.533.214
5,3

7
PKB
5.146.122
4,9

8
Gerindra
4.646.406
4,5

9
Lain-lain
22.971.523
22,2

TOTAL
104.099.785
100

ABSTENSI
38,6%*

Pasca transisi politik 1998, Indonesia menggelar pemilu demokratis kedua. Sekitar 48 partai politik bertarung dalam Pemilu 1999. Pertarungan tersebut hampir mendekati "free-fight" meski dengan sejumlah pembatasan. Tentu saja, tidak seluruh partai memperoleh suara yang signifikan. Banyak analis politik melakukan analisis sentripetal: Kembali pada kejadian di Pemilu 55. Politik Aliran kembali mengemuka secara alat analisis guna memetakan konfigurasi partai politik yang bertarung dan memperoleh suara dalam Pemilu 1999, 2004, 2009 dan kini menjelang 2014.

PDI Perjuangan
Pada pemilu 1999, PDI Perjuangan  keluar selaku pemenang dan kerap dikatakan selaku reinkarnasi dari Partai Nasional Indonesia. Jika kita mengabaikan dimensi emosional konstituen tatkala memilih PDI Perjuangan  (figur Megawati selaku orang "tertindas" Orde Baru), maka PDIP merupakan perwakilan kalangan nasionalis, islam abangan, dan orang-orang "cilik" yang pada pemilu 1955 berpusar pada PKI. Tentu saja, terdapat perbedaan ideologi antara PDI Perjuangan  dan PKI, tetapi basis konstituen mereka relatif sama.  Semenjak PDI Perjuangan memenangkan pemilu 1999, terjadi proses pemborjuisan berskala luas dan nyaris sempurna dalam partai. Para pejuang marhaen bukannya menggunakan kepercayaan rakyat tersebut untuk melancarkan perjuangan melawan penindasan dan kemiskinan struktural, namun ‘berjuang’ melawan kemiskinan pada diri sendiri. Terjadilah proses penghancuran diri sendiri dan perjuangan partai. Ketakterkendalian ini membuat mereka mengabaikan atas persoalan sehari-hari maupun persoalan struktural rakyat Indonesia yang masih terhisap, terpinggirkan dan tertindas. Konsekuensinya, mereka juga abai terhadap soal-soal organisasi. "Political Machine" merupakan julukan Golkar selama orde Suharto. Golkar kurang mampu menyentuh sentimen emosi "orang-orang kecil" seperti PDIP, terlebih figur Megawati yang kuat merepresentasikan Sukarno. Dapat pula disebutkan pembalikan suara ini akibat akumulasi kekecewaan masyarakat dan elit politik Indonesia terhadap Golkar dan Orde Baru.
 Massa PDI Perjuangan  relatif cair, pragmatis, dan selalu berubah, seperti yang akan terlihat di pemilu-pemilu kemudian. Era “Reformasi” tidak membawa perubahan fundamental bagi kondisi mayoritas rakyat. Sebaliknya, eksploitasi menjadi semakin gencar dengan diimplementasikannya agenda neo-liberal atas nama menyelamatkan ekonomi Indonesia. Banyak tuntutan-tuntutan “Reformasi” yang tidak dipenuhi atau dilakukan dengan setengah hati. Di mata rakyat, “Reformasi” telah terdiskreditkan. Sifat cair konstituen PDI Perjuangan  menjadi kentara di Pemilu 2004. Megawati kurang berhasil dalam memanfaatkan kedudukannya selaku presiden dalam menyatakan janji-janjinya di Pemilu 1999. PDI Perjuangan yang merupakan simbol “Reformasi”, kehilangan hampir setengah dari dukungan mereka, jatuh dari 33,7% ke 18,53% (menduduki peringkat ke dua setelah Golkar). Dari 154 kursi di pemilu 1999, kursi PDI Perjuangan  anjlok menjadi 109. Di pemilihan presiden secara langsung yang pertama di Indonesia. Susilo Bambang Yudhoyono dari Partai Demokrat menang secara telak dengan 60,9% suara. Hasil pilpres ini adalah bukti yang nyata dari ini. Pada pemilu 2009 PDI Perjuangan mendapatkan dirinya ditinggalkan konstituennya. Perolehan suara meurun secara signifikan menjadi 14% (menduduki peringkat ke tiga). Lagi-lagi calon presiden dari PDI Perjuangan kandas ditangan partai democrat.

Menjelang Pemilu 2014
Bagaimana prospek ke depan dari PDI Perjuangan? kendati menang dalam pemilu 1999 sesungguhnya PDI Perjuangan  : Lebih mengandalkan figur.
Pidato politik Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dalam pembukaan kongres ke III juga menganalis bahwa PDI Perjuangan harus menjadi partai yang ideologis, setelah kegagalan dalam dua kali pemilu terakhir. Ketua Umum mengatakan: Jika kita mau sedikit merenung, maka kita pasti akan sampai pada keyakinan bahwa kegagalan kita dalam memaknai garis sejarah sebagaimana saya sampaikan di atas merupakan inti sebab dari ditinggalkannya PDI Perjuangan dalam dua pemilu lalu. Kemerosotan suara adalah teguran rakyat agar kita kembali ke takdir sebagai sarana dan wadah perjuangan rakyat. Saudara-saudara-ku, ingatlah akan hal ini: rakyat tidak akan pernah ragu-ragu untuk kembali menegur dengan cara lebih keras di tahun 2014 nanti, jika kita gagal kembali ke jalan ideologis kita”.
 Pernyataan keras Ketua Umum ini didasari sejumlah persoalan di internal partai yang terjadi dalam skala yang luas. Fenomena perilaku kader yang menjadi elitis dan tidak lagi kembali ke grassroot (akar rumput setelah menjadi pengurus partai, anggota dewan, maupun kepala daerah yang menyebabkan keruntuhan partai terjadi.
Komisi Program di Kongres III PDI Perjuangan di Bali menyiapkan langkah untuk merealisasikan pesan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dalam pidato politik pembukaan kongres, yaitu kembali pada ideologi partai yang peduli rakyat. Langkahnya akan dimulai dari tahap pengelolaan kader. Kader-kader partai ini tersebar di legeslatif, eksekutif dan struktur partai. Untuk mensinergikan kader-kader ini langkah selanjutnya adalah mengkoordinasikan ketiga kekuatan partai ini dengan tidak meninggalkan program ideologi, maka perlu direalisasikan apa yang disebut sebagai cabang pelopor. Cabang Pelopor adalah cabang yang dipilih untuk mengimplementasikan ideologi partai itu menjadi ideologi kerja melalui peran konkret kepeloporan para kader di Tiga Pilar. Tiga Pilar yang dimaksud antara lain jajaran struktural partai, legislatif (DPRD) dan eksekutif (Pemerintah Daerah). Cabang Pelopor ini akan melibatkan seluruh jaringan struktur partai, mulai tingkat DPD (Provinsi), DPC (kabupaten/kota), Pengurus Anak Cabang (kecamatan), Ranting (desa) hingga anak ranting (pedukuhan).
Namun, sebagian besar kader dan simpatisan partai percaya bahwa Megawati masih dibutuhkan oleh PDI Perjuangan untuk membawa partai ini pada kesuksesan politik. Ini merupakan realitas politik yang tidak dapat dibantah, sebab harapan yang dibebankan ke Megawati sejatinya mencerminkan identitas partai yang sesungguhnya. Kebutuhan akan adanya simbol politik yang mampu merekatkan segenap komponen yang ada di PDI Perjuangan ‘memaksa’ Megawati untuk kembali siap dicalonkan menjadi presiden. Meski harus diakui pula bahwa ketergantungan pada simbol politik, dalam hal ini Megawati akan membuat mekanisme kepartaian di PDI Perjuangan cepat atau lambat akan mengalami penyumbatan.
Setidaknya ada lima alasan mengapa sebagian besar kader dan simpatisan PDI Perjuangan masih menginginkan Megawati memimpin partai. Pertama, secara ideologis, PDI Perjuangan memiliki basis massa dari kalangan bawah, yang membutuhkan simbol-simbol politik yang mampu menjawab dahaga akan hadirnya satrio piningit, sebagaimana yang diperankan oleh Soekarno dulu. Dengan kata lain, kebutuhan akan adanya figure yang menjadi symbol politik mengalahkan kebutuhan akan adanya regenerasi politik di tubuh partai tersebut.
Kedua, Megawati merupakan simbol pemersatu di partai. Sepakat atau tidak, selama kurun waktu Megawati memimpin partai dari PDI, lalu bermetamorfosis menjadi PDI Perjuangan, tak banyak konflik yang memecah belah kader dan simpatisan. Jikapun ada, cenderung mengarah kepada pembelahan politik, yang pengaruhnya relative kecil, seperti pada kasus Erros Djarot yang mendirikan PNBK.
Ketiga, Megawati dianggap menjadi Penyambung Lidah Bung Karno, yang akan meneruskan cita-cita dan semangat Bung Karno ke partai maupun ke negara. Apa yang menjadi pemikiran dan kebijakan Megawati kerap kali dipandang sebagai representasi dari pemikiran Bung Karno. Sehingga kehadiran Megawati memimpin kembali PDI Perjuangan diasumsikan sebagai penerusan dari cita-cita dan semangat Bung Karno.
Keempat, Megawati dianggap berhasil membawa PDI Perjuangan kepada kesuksesan politik. Dari partai gurem pada masa Orde Baru menjadi partai yang menjadi pesaing dari Partai Golkar pada dua pemilu terakhir, bahkan pada Pemilu 1999 menjadi pemenang.
Kelima, Megawati dianggap figure yang tepat untuk membawa gerbong kelompok nasionalis maju ke gelanggang politik. PDI Perjuangan, dipandang sebagai satu-satunya partai politik bagi kelompok nasionalis. Dengan adanya figure Megawati di partai, maka secara prinsipil kelompok nasionalis menjadi bagian dari PDI Perjuangan. Sebab selain Megawati merupakan anak Bung Karno, Megawati juga dianggap sebagai figure yang tepat untuk meneruskan tradisi politik keluarga Bung Karno; menjadi lokomotif politik bagi kelompok nasionalis.
Berbagai alasan di atas tampak sangat rasional namun fakta dilapangan justru memperlihatkan keadaan yang kontradiksi. Kekalahan demi kekakalahan terus menerus dialami semenjak PDI Perjuangan memenangkan pemilu 1999. Kader-kader partai yang seringkali menganalisa secara dangkal menyatakan bahwa kunci kemenangan PDI Perjuangan karena dipimpin Megawati hanyalah menjadi semacam pembenaran untuk tidak mau kehilangan pengaruh dari lingkaran birokrasi partai. Fakta lain semenjak PDI Perjuangan memenangkan pemilu 1999 adalah terjadi proses pemborjuisan berskala luas dalam partai. Para pejuang wong cilik bukannya menggunakan kepercayaan rakyat tersebut untuk melancarkan perjuangan melawan penindasan dan kemiskinan struktural, namun ‘berjuang’ melawan kemiskinan diri sendiri. Terjadilah proses penghancuran diri sendiri dan elan perjuangan partai, persis seperti seorang penganggur beroleh hadiah lotere dan menghabiskan semuanya untuk konsumsi yang tak terkendali. Partai dan orang-orangnya mengalami mutasi kelas secara nyaris sempurna!
Ketakterkendailan ini membuat mereka abai atas persoalan sehari-hari maupun persoalan struktural rakyat Indonesia yang masih terhisap, terpinggirkan dan tertindas. Konsekuensinya, mereka juga abai terhadap soal-soal organisasi. Massa, dari mana dia berasal, diabaikan.
Nyaris para orang kaya baru ini hanya mengandalkan ketua umum PDI Perjuangan, ibu Megawati Soekarnoputri, sebagai produk unggulan satu-satunya untuk berpolitik. Sebagai akibatnya, ketika pemerintahan Ketua Umum kita tidak ditopang dan dipasok ide-ide progresif dari orang-orang sekelilingnya yang sudah bermutasi kelas, maka kinerja dan citra partai pun turut remuk di mata rakyat.
Ini merupakan problem terberat dan terbesar yang kita hadapi, karena ini menyangkut watak/karakter yang bukan cuma merusak partai, namun juga merusak bangsa. Karena itu, pemecahan problem kesejarahan, ideologi, politik maupun organisasi harus secara dialektis dan simultan dikaitkan dengan pemecahan problem mutasi kelas dalam jajaran PDI Perjuangan.
Ada beberapa alasan mengapa kaderisasi di tubuh PDI Perjuangan harus bersifat menyeluruh. Pertama, sebagai partai yang memiliki basis massa wong cilik, PDI Perjuangan harus memiliki seorang pemimpin yang mampu menjadi inspirator dan seorang yang mengerti bagaimana menjaga massa pendukungnya agar tetap menjadikan PDI Perjuangan sebagai partai pilihan. Kader partai yang memiliki kemampuan tersebut seyogyanya merupakan hasil dari pengkaderan partai yang baik.
Kedua, kejenuhan politik di masyarakat melihat prilaku kader partai yang tidak mencerminkan tata nilai dan ideologi partai membuat PDI Perjuangan ditinggalkan pemilihnya. Sehingga dibutuhkan penyegaran politik untuk mengembalikan kepercayaan dan menghilangkan kejenuhan politik masyarakat.
Ketiga, minimnya strategi politik partai sebagai upaya untuk memenangkan hati masyarakat, membuat partai tidak lagi memiliki sesuatu yang dapat menarik hati masyarakat untuk menetapkan pilihannya kepada PDI Perjuangan. Ketiadaan strategi partai ini diasumsikan bahwa cukup mengedepankan figure ketua  umum, maka PDI Perjuangan akan kembali memenangkan Pemilu 2014. Kenyataannya strategi tersebut tidak cukup efektif, terbukti PDI Perjuangan mengalami kekalahan beruntun pada Pemilu 2004 dan 2009 lalu.

Regenerasi dan Kaderisasi
Salah satu indikator sehatnya suatu organisasi adalah ketika terjadi peralihan generasi/regenerasi organisasi dapat berjalan seperti kondisi sebelumnya, bahkan lebih. Regenerasi dapat didefinisikan sebagai sutu perpindahan tongkat estafet dalam berorganisasi dari generasi yang lebih senior ke generasi yang lebih junior, dengan definisi senior dan junior sebagai peristilahan yang luas, bisa dari sisi usia, tahun masuk menjadi anggota dalam suatu organisasi dan lainnya). Sedangkan kaderisasi merupakan suatu usaha yang dirintis untuk mempersiapkan kader-kader penerus dalam suatu proses regenerasi. Dengan kata lain proses regenerasi merupakan suatu hal yang pasti terjadi bilamana suatu organisasi hendak dipertahankan, tanpa melihat lebih dalam kualitas dari orang-orang yang terlibat dalam proses regenerasi. Sedangkan kaderisasi cenderung kepada proses regenerasi yang telah direncanakan sebelumnya, utamanya dari sisi kualitas. Sistem Kaderisasi telah melihat hal-hal kedepan terkait dengan resouces yang ada di organisasi, pos-pos mana yang haus segera diisi dari kekosongan, termasuk didalamnya bagaimana mencetak kader-kader yang handal serta terampil dan berpengetahuan dalam menjalankan organisasi sesuai pos nya kelak. Regenerasi dan kaderisasi merupakan suatu term yang wajib dijadikan ingatan pertama dan utama bagi bagian yang mengelola resource sumber daya manusia. Padanyalah dipertaruhkan masa depan organisasi, keberlagnsungan atau hidup matinya.
PDI Perjuangan, perlu figur-figur muda guna mengisi partai ini. Dahulu, PDIP memiliki orang-orang selaku representasi, kini orang-orang yang serupa dengan itu hampir belum lagi ditemui. Padahal, jika partai ini memenangkan pemilih presiden, sebagai misal, perlu jajaran menteri dari partai yang "mengerti masalahnya." Di sisi lain, figur dari partai lain sudah muncul. Jika PDI Perjuangan  tidak melakukan pembenahan kader sejak awal, maka pada 2014 suara konstituennya dapat "lari" kepada Partai lain yang mengusung ideologi sama, tetapi dengan figur yang lebih muda dan enerjik. Puan Maharani yang kini menjadi Ketua DPP PDIP bidang Politik dan Hubungan Antar Lembaga, secara tersirat siap menggantikan Mega sebagai capres 2014.

Pemimpin Baru, Capres Baru!
Merdeka!